Friday 15 July 2011

Sajak Membaca


Jasad kita yang letih terseok-seok melewati rumah demi rumah
bernama peristiwa sudah berabad-abad lamanya. Betapa, nafas kita
yang tersengal-sengal kini tak lagi mampu berkata-kata
ketika hatinya sedang meratap dan berduka.

Apa lagi yang tersisa menjadi milik kita? Dendam kesumat
atau ketakutan? Atau kita sebokkan fikiran dengan
oanani serta gogokan beer.

Ketika jerit mortar dan desing bom menggoda kesunyian
menjadi dunia baru yang lebih hiruk dan pikuk atau dari
medan demi medan pertempuran mayat demi mayat
yang sebahagiannya pernah kita kenal nama serta tatap wajahnya
perlahan-lahan bangkit dari tanah-tanah lindap bernama perkuburan
dengan suara seraknya berkali-kali menyeru nama kekasih
yang telah berubah menjadi igauan atau terkial-kial mencari
nama negerinya yang semakin kumal disimbahi darah.

Apa lagi yang tersisa menjadi milik kita? Kerinduan semakin
menyesaki ingatan dan mimpi telah berubah menjadi dunia
teramat gulita yang penuh dengan kesangsian. Tak ada dian
yang dapat kita gantikan dengan kata-kata atau kepercayaan.

Kita lepaskan keluh yang sarat dengan kesal dan ketakutan
yang berabad-abad kita simpan. Dengan suara robek
kita senandungkan tembang demi tembang. Tetapi tidak lain
hanyalah ninabobok yang teramat panjang dan kematian
yang berulang-ulang datang menjemput secara paksa nama
demi nama, jasad demi jasad di antara kita.

Betapa, dunia telah berubah menjadi daerah tanpa matahari
di situ kita menyaksikan otot menggantikan keramahan
dengan darah panas yang selalu menggelegak dan bahasa
yang berteriak dengan bentak berkumandang di dalam pesawat,
internet, majalah atau mikrofon

Apa lagi yang tersisa menjadi milik kita? Mengingati sebuah nama
dan negara bernama peribadi dengan tubuh gementar
dan senyuman kita rubah menjadi seribu sindiran.
Kerana ketakutan yang kita simpan di dalam diari
dengan kesumat yang berkobar-kobar
kita tuliskan dengan huruf-huruf yang tak kelihatan.

Tidak lain adalah seekor raksasa

No comments:

Post a Comment